Minggu, 16 September 2012

Kenagan Masa Balita


Siapa yang ingat masa bayi, batita dan balitanya? Adakah yang tahu, wajah siapa yang dilihat ketika pertama menghirup udara dunia; Ibu, Ayah, Dokter atau dukun beranak? Ingatkah kata pertama yang dulu kita ucapkan? Kapan merangkak, berjalan dan berlari? Kalau tak ada yang ingat, sama, saya juga tidak. Meskipun saya memandang foto
yang kata ibu “Ini fotomu, lho!”; foto seorang bayi berpipi bakpau, empuk dicubit, yang tak malu duduk telanjang di atas kursi. Saya tetap tak bisa mengingat kapan dan bagaimana foto itu diambil. Saya hanya mempercayai bahwa foto itu adalah saya. Wajahnya mirip dengan saya saat ini. Saya malah takjub, dulu saya menggemaskan juga, ya?
Lalu Ayah-Ibu bercerita. “Kamu lahir 19 April, setahun setelah Ayah-Ibu menikah. Kita dulu sempat tinggal di rumah kontrakan di Pakjo, sebelum bikin rumah sendiri. Kamu dulu sering sakit, sebulan tak datang ke dokter sepertinya hidupmu kurang lengkap. Kamu dulu, kita dulu, begini, begitu...” Saya harus percaya cerita-cerita itu. Saya tak ingat sama sekali, sedang mereka masih mengingatya, ingat sekali.
Seorang perempuan yang dipanggil Bi Iyut juga pernah bercerita, “kamu dulu waktu kecil dititipkan sama saya. Saya yang menjagamu. Ketika ibumu ngajar, ketika Ayahmu ke luar kota untuk urusan proyek PU Bina Marga, sayalah yang merawatmu. Lumayan lama saya merawat kamu, sampai saya menikah. Masa sih, kamu tidak ingat? Lah, kalau saya ingat, tentunya Ibu tua tak perlu mengingatkan kalau Bi Iyutlah dulu baby sitter saya. Kenangan itu tak ada di kepala saya.
Kenangan masa kecil yang cukup banyak adalah ketika saya mulai meninggalkan masa balita. Saya sekolah di  TK Dharma Wanita. Naik becak pulang dan pergi dengan anak tetangga yang namanya Kewoy atau Kemoy atau apalah (ini saya juga lupa). Membantu Ibu Guru menyusun mainan yang diberantakin teman-teman; saat mereka mulai menyimak cerita Bu Guru. Sekolahnya asyik, main-main, nyanyi-nyanyi, cerita dongeng. Ketika istirahat, saya sering bertukar bekal makanan dengan teman-teman. Bulan puasa tetap bawa makanan; ada anak yang puasa dan ia tak makan saat jam istirahat. Saya belum bisa mengikat tali sepatu sendiri; maka dari itu saya waktu itu benci sepatu bertali. Latihan senam dan ikut senam massal di PT PUSRI. Menyanyi di  studio RRI. Ternyata kenangan ketika TK lebih banyak dibandingkan dengan usia balita ke bawah.    
Apa lagi ya, yang saya ingat? Ketika berusia 4 tahun saya dititipkan di rumah nenek (orangtua ibu). Sedang demam, tapi kok dititipin. Ternyata akan Ibu melahirkan Adik, yang akhirnya diberi nama Ruli Amrullah, kenapa dipilih nama itu, saya juga tak ingat. Saya pernah tersesat di pertokoan, karena terlalu kagum melihat isi toko, menangis, sejak itu jadi takut kalau masuk toko, khawatir tertinggal lagi. Pulang sekolah saya dititipkan ke rumah nenek, siang barulah ibu datang menjemput. Saya suka ikan selar goreng buatan nenek. Saya pernah kecebur di sumur tetangga, untung ibu mendengar jeritan saya, langsung datang menolong; Ibu hebat! Dia mengangkat saya dari sumur padahal sambil menggendong adik. Saya... ingatan itu sepotong-sepotong. Saya hanya bisa mengingat kesan. Dan kesan itulah yang kata para ahli psikologi membentuk sikap dan tingkah laku kita sekarang. Betul nggak, sih? 

Saya berandai-andai, kalau saya ingat setiap momen letih ibu mengurus, mendidik saya, pasti saya tak akan pernah membantahnya. Kalau saya ingat segala wajah letih Ayah pulang bekerja untuk mencukupi kebutuhan hidup saya, pasti saya akan selalu taat pada perintahnya. Sayangnya, saya tak ingat itu semua. Saya hanya mengingat kesan-kesan tertentu dan orang tua saya tak pernah tahu, kesan apa yang membekas di benak saya.

Kesimpulan saya -tanpa penelitian dan referensi- berikanlah kesan terindah untuk anak-anak kita (kita???) Supaya kelak dia mengingat yang indah-indah sehingga perilakunya juga indah-indah. Mungkin ini adalah salah satu rahasia Allah. Ilmu kita tak dapat menjangkaunya. Kalau anak-anak memiliki ingatan seperti orang dewasa, mungkin mereka akan paranoid seperti orang dewasa. Tak berani melakukan ini dan itu karena terpasung kenangan, pengalaman.

Allah menyimpan kenangan itu di benak orang tua, keluarga, dan orang-orang di sekitar kita sebagai harta di masa depan. Harta yang selalu menghubungkan kita dengan mereka, membuat kita tak bisa lepas darinya. Mereka adalah kunci pengingat masa lalu. Jadi alangkah sayangnya jika kita memutuskan ikatan dengan kunci masa lalu itu. Kita jadi tak punya masa lalu. Tanpa mengingat masa lalu, kita cenderung takabur, lupa diri. Padahal dulu, kita siapa sih! 

oleh : juhery pelayaran 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar